Warga Kampung Alam Malon memproduksi kain batik dengan pewarna alam |
-Berkunjung ke Kampung Alam Malon (2-tamat)
MANUSIA bisa hidup dengan baik berkat ciptaan-ciptaan sebelumnya, salah satunya alam. Potensi alam jika dimanfaatkan dengan baik tidak hanya bisa menghidupi, tapi juga menaikkan taraf hidup masyarakat. Desa Malon di Kelurahan Gunungpati Kecamatang Gunungpati Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi alam yang sangat besar, meskipun wilayah disana hanya seluas 50,5 hektare. Sebanyak 376 jiwa penduduk dengan mayoritas warga bermata pencaharian sebagai wiraswasta, pekerja lepas dan petani itu kini sedang bergerak bersama untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Hal itu mereka lakukan sejak kampung tersebut ditetapkan sebagai salah satu kampung tematik oleh Pemerintah Kota Semarang. Masyarakat di Desa Malon ini antusias membenahi lingkungannya dan mengangkat potensi disana. Keunggulan kampung tersebut di antaranya di bidang seni, budaya, dan religi. Adapun, salah satunya untuk bidang seni yaitu pembuatan batik dengan pewarna alam.
Hal itu tampak saat memasuki kawasan Kampung Alam Malon, gapura besar berlukis motif batik menyambut siapapun yang akan berkunjung kesana. Sebagai penunjuk arah, sepanjang jalan ditandai dengan umbul-umbul bambu dan pot-pot batu yang dilukis motif batik. Sehingga, siapapun yang berkunjung kesana sudah dapat menebak apa yang menjadi keunggulan dan potensi kampung tersebut.
Namun, tidak sekadar batik yang dikembangkan di Kampung Alam Malon. Sebab, masyarakat disana benar-benar memanfaatkan potensi alam, yakni mengembangkan batik dengan pewarna alam. Salah satu pegiat, pendamping, sekaligus perajin pembuatan batik warna alam di Kampung Malon adalah Marheno Wijayanto (43). Dia adalah tokoh masyarakat di kampung itu yang sehari-hari mendampingi dan melatih warga disana dalam kelompok-kelompok perajin batik pewarna alam.
"Pengembangan kampung batik dengan warna alam ini sudah ada sebelum program kampung tematik. Sekitar tahun 2006 hingga 2010 kami merintis pembuatan batik dengan pewarna alam. Tentu hal itu kami lakukan dengan melihat potensi alam yang dimiliki kampung ini," ungkapnya.
Berada di kawasan dataran tinggi memang agak tidak masuk akal jika ada industri batik di wilayah tersebut. Proses pembuatan dan pembuangan limbah akan merusak lingkungan dan kondisi alam. Maka itu, penggunaan pewarna alam menjadi alasan utama dalam pembuatan lembar demi lembar kain batik berkonsep ramah lingkungan itu.
Tumbuh-tumbuhan di kawasan pegunungan itu dan sekitar tempat tinggal warga dimanfaatkan sebagai bahan pewarna. Bahkan, tanaman pesisir juga digunakan untuk memberi warna kain yang merupakan warisan budaya Indonesia itu.
"Kami manfaatkan tanaman sejenis perdu bernama indigo atau tom untuk memberikan warna biru. Lalu kami juga gunakan kayu secang untuk warna merah, kayu mahoni untuk warna coklat. Bahkan, kami juga gunakan tumbuhan pesisir yaitu limbah biji mangrove untuk pewarna batik. Hasil batik dengan pewarna alam ini lebih soft dibandingkan batik dengan pewarna sintetis," kata pemilik Batik Zie itu.
Bersama istrinya, Zazilah (43), Marheno mengajarkan ilmu membatik kepada warga. Sebanyak 60 warga yang merupakan ibu-ibu rumah tangga di Kampung Malon dibagi menjadi empat kelompok perajin batik. Mereka diajarkan dari dasar cara membuat batik.
"Kami membentuk mereka disini bukan sebagai pekerja, tetapi sebagai perajin batik. Sehingga, mereka harus bisa semua cara dan tahapan membuat batik mulai menggambar desain, mencelup warna, hingga menjual produknya ke pasaran," tutur Zazilah yang sudah menggeluti bidang batik sejak tahun 1998 bersama sang suami.
Menurut dia, memberdayakan masyarakat untuk maju bersama nguri-uri kebudayaan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses lama, mulai mengenalkan mereka tentang batik, membuat mereka tahu beda batik dengan tekstil, sampai mengajarkan mereka cara menguasai produknya. Sehingga mereka termotivasi tidak hanya membuat kain batik saja, tetapi juga tahu cara memasarkan.
"Ternyata, semangat mereka luar biasa mulai dari membuat batik hingga menjualnya di pameran atau saat ada kunjungan wisatawan ke Kampung Malon," tuturnya.
Pengembangan potensi Kampung Alam Malon pun didukung oleh sejumlah pihak baik akademisi ataupun perusahaan seperti Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan PT Indonesia Power.
Pembina Kampung Alam Malon, Nana Kariada menjelaskan, pihaknya melihat potensi desa tersebut ketika para mahasiswanya melakukan kuliah kerja nyata (KKN) disana. ''Ternyata Desa Malon punya potensi besar untuk dikembangkan, salah satunya dengan adanya pembuatan batik dengan pewarna alam. Maka kami pun menjadikan desa ini sebagai tempat pengabdian dan menggandeng PT Indonesia Power untuk mendanai pengembangannya melalui program corporate social responsibility (CSR),'' tutur dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unnes itu.
Melalui bantuan tersebut pemberdayaan masyarakat disana tidak hanya membatik, tetapi juga pendidikan bagi warga pondok pesantren disana, pelatihan membuat kultur jaringan, pembuatan kolam, IPAL, hingga hidroponik.
''Antusias mereka sangat bagus, warga bergerak bersama mulai dari kelompok tani, kelompok batik, seni, dan pondok pesantren. Sehingga harapannya masyarakat Desa Malon makin sejahtera dan terampil,'' tandasnya.