Nirwana di Pucuk Pulau Kepala Burung

Bukit Pianemo Raja Ampat

TIDAK cukup satu kata untuk mengungkapkan yang ada disana. Penuh keindahan, ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan. Mungkin seperti gambaran surga. Ya, tempat itu adalah Raja Ampat di Papua Barat.

Bak nirwana di pucuk pulau kepala burung, begitulah saya menerjemahkan tempat yang sangat mempesona itu. Kepulauan Raja Ampat merupakan gugusan pulau-pulau kecil di ujung barat Pulau Papua yang berbentuk seperti kepala burung yang terletak sekitar 50mil sebelah barat laut Sorong. Adapun, secara administrasi, gugusan itu berada di bawah ibu kota Waisai Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat.
Peta Raja Ampat dan Diving Spot
credit: www.indonesia-tourism.com
Konon menurut asal-usulnya, mengapa disebut Raja Ampat karena pada masa itu Kesultanan Ternate menempatkan pangeran-pangeran untuk berkuasa menjadi raja di empat pulau-pulau besar disana. Mereka menempati empat pulau di antaranya, Waigeo, Salawati, Batanta, dan Misool. Jadi hingga sekarang masih banyak yang percaya bahwa gugusan pulau tersebut dijaga oleh empat raja.

Sebuah kesempatan yang sangat luar biasa saya menjadi salah satu yang beruntung bisa berkunjung ke pulau eksotis itu. Sebab saya turut bergabung dengan rombongan Appreciation Trip Garuda Indonesia Cabang Semarang akhir bulan Mei lalu. Rombongan yang terdiri dari para agen perjalanan dan mitra usaha maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Jawa Tengah itu tidak hanya mendapatkan apresiasi bisa jalan-jalan ke sana. Akan tetapi, mereka juga membawa misi untuk menggarap potensi wisata di wilayah Indonesia Timur itu dengan membentuk konsorsium paket wisata ke Raja Ampat.

Tugu Selamat Jalan Pelabuhan Sorong
Pada perjalanan kami kedamaian dan keindahan telah disuguhkan ketika kapal cepat kami lepas sandar dari Pelabuhan Sorong Papua Barat menuju Raja Ampat. Pemandangan laut nan biru jernih, hamparan bukit yang hijau, langit yang biru, serta pulau-pulau kecil memanjakan mata kami selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari dua jam. Rasa lelah dari perjalanan sebelumnya melalui udara selama dua jam dari Bandara Sultan Hasanudin Makasar ke Bandara Domine Eduard Osok Sorong pada dini hari juga mulai berkurang dengan pesona alam Papua Barat itu. Sehingga bukan sesuatu yang sia-sia ketika harus menempuh perjalanan dengan berkali-kali berganti pesawat dari Semarang-Jakarta-Makasar-Sorong dengan total waktu tempuh sekitar enam jam.

Pemandangan selama perjalanan dari balik jendela kapal cepat
Kapal cepat yang membawa 22 orang rombongan kami itu akhirnya sampai di Waiwo Dive Resort di Pulau Waigeo Waisai Raja Ampat.  Setelah check-in dan istirahat sebentar, petualangan kami mengeksplor objek wisata di Raja Ampat dimulai.


Tujuan pertama yang kami singgahi adalah kawasan pantai pasir putih di Pulau Koh. Masyarakat disana menyebutnya sebagai Pantai Pasir Timbul atau Pulau Burger, karena saat air pasang disana akan seperti pantai pada umumnya.  Akan tetapi jika air surut, pantai tersebut akan berubah menjadi hamparan pasir putih yang sangat luas dengan air yang sangat jernih. Sungguh luar biasa cantik pemandangan disana, dimanapun kita berdiri dan mengambil gambar akan menghasilkan foto yang sangat mempesona.

Panorama Pantai Pasir Timbul di Pulau Koh

Pantai Pasir Timbul 
Setelah beranjak dari Pantai Pasir Timbul, kapal kami pun membelah lautan untuk menuju ke Teluk Kabui dengan menempuh waktu selama 30-45 menit. Teluk Kabui berada di antara Pulau Waigeo dan Pulau Gam. Objek satu ini sangat khas sekali dan ikonik, karena hanya ada di Raja Ampat. Teluk Kabui merupakan pulau-pulau karang yang menyembul dari dasar laut dan memiliki ukuran serta bentuk bermacam-macam. Hijaunya vegetasi di tumpukan pulau-pulau karang yang tersebar itu menjadi kamuflase sempurna dan seakan membungkus ratusan gugusan tebing yang mayoritas berbentuk kerucut itu. Sehingga menjadikan panorama tersendiri nan unik dan sangat memanjakan mata siapapun yang langsung melihatnya.

Batu karang di Teluk Kabui


Gugusan Batu Karang di Teluk Kabui
Melakukan ekspedisi di Raja Ampat memang tidak cukup satu hari, di hari berikutnya masih banyak objek wisata yang kami kunjungi dan menawarkan pesona yang tak kalah indah dari hari sebelumnya. Seperti saat singgah di Pulau Pianemo sebagaimana kebanyakan orang menyebutnya miniatur dari Pulau Wayag.

Memasuki kawasan Bukit Pianemo
Ya, Raja Ampat memang terkenal dengan Pulau Wayag yang memiliki gugusan bukit karst sebagaimana jika dilihat dari atas permukaan air tampak perpaduan warna hijau tosca dan biru. Namun untuk mencapai ke Wayag membutuhkan waktu sekitar tiga jam dari Waisai, maka alternatif lain yang lebih mudah dijangkau adalah berkunjung ke Pianemo. Untuk menuju lokasi tersebut dibutuhkan waktu dua jam perjalanan dari Waisai dengan kapal cepat. Saat memasuki kawasan Pulau Pianemo kami disambut oleh bukit-bukit karang berwarna hijau karena ditumbuhi pohon dan air laut berwarna biru jernih dengan siluet warna hijau tosca. Setelah kapal sandar di Pianemo kami pun secara beriringan menaiki bukit tersebut.

Pemandangan Bukit Pianemo
Beruntung, jalur trek yang kami daki bukanlah karang-karang terjal seperti yang orang ceritakan saat menaiki puncak Wayag. Sebab jalur pendakian di Pianemo sudah menggunakan tangga yang dibuat dari kayu besi. Pembuatan tangga tersebut atas inisiatif Pemerintah bersamaan dengan penyelenggaraan Sail Raja Ampat tahun 2014 lalu. Sehingga, 306 anak tangga itu dapat memudahkan para pengunjung yang ingin menikmati pemandangan bukit karst Pianemo dari ketinggian. Saya pun menaiki tangga itu dengan semangat, dalam hati saya meyakini bahwa ada bayaran yang setimpal saat kita mencapai puncak bukit Pianemo itu. Dan ternyata benar, tidak henti-hentinya saya berdecak kagum saat melihat panorama yang indah dan mempesona itu. Gugusan pulau karang di Pulau Pianemo terlihat jelas dan sempurna dengan perpaduan warna hijau dan biru.

Mau selfie gaya apapun, yang penting dimananya...
Setelah mata dan hati kami dimanjakan oleh pemandangan alam yang indah hingga akhirnya membuat bahagia, ada objek lain yang tak kalah istimewa di Raja Ampat, yakni berkunjung ke dua desa wisata Sawinggrai dan Arborek.

Jembatan di Desa Arborek

Suasana Desa Sawinggrai
Dua desa ini hampir memiliki karakter yang sama. Masyarakatnya tinggal di rumah apung dan dekat dengan pantai. Anak-anaknya pun sangat berkelimpahan bahagia dan syukur walaupun mereka tidak mengenal piranti teknologi yang canggih seperti yang dimiliki anak zaman sekarang. Masa kecil mereka hanya dihabiskan dengan bermain permainan tradisional, berenang di pantai atau bernyanyi. Mayoritas penduduk Desa Arborek dan Sawinggrai adalah nelayan. Setiap hari mereka menjalani hidup sangat santai. Hal itu karena alam telah memanjakan mereka. Jika lapar pun mereka cukup pergi ke laut untuk memancing kemudian membawa hasil tangkapan tersebut di rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Selain itu, mereka juga membuat kerajinan tangan yang bahannya diambil di pinggir pantai, seperti kerang-kerang yang dibuat menjadi hiasan meja dan lainnya.

Komitmen melestarikan lingkungan di Desa Arborek

Hasil kerajinan anak-anak Desa Arborek
Adapun, meski menjalani hidup yang apa adanya di Desa Arborek memiliki keistimewaan, yaitu berhasil terpilih sebagai desa terbersih se-Kabupaten Raja Ampat. Ya, masyarakat disana sangat peduli dengan kebersihan. Hal itu tampak dari tersedianya tempat sampah di sudut-sudut desa dan papan larangan membuang sampah sembarangan. Selain itu, untuk meraih predikat tersebut, warganya tidak sekadar menjaga kebersihan tetapi menerapkan zona larangan kawasan konservasi laut daerah (KKLD).
Desa Arborek, desa terbersih di Raja Ampat

Salam perpisahan dari warga dan anak-anak Desa Sawinggrai
Setelah tiga hari dua malam berada di Raja Ampat, akhirnya tuntas juga perjalanan rombongan kami. Dalam perjalanan pulang menuju ke Pelabuhan Sorong hati kecil saya berkata, Tuhan memang sangat luar biasa. Saya percaya bahwa Tuhan pasti dalam keadaan berbahagia saat menciptakan alam Indonesia khususnya Raja Ampat di Papua Barat. Sehingga tidak heran bahwa pulau tersebut sangat menawan dan kerap disebut sebagai surga terakhir dan tersembunyi yang ada di bumi. 

Tulisan ini dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu (21/06/2015) dan di media online suaramerdeka.com http://berita.suaramerdeka.com/nirwana-di-pucuk-pulau-kepala-burung/

0 comments