Seni mural karya seniman visual di Kampung Jatiwayang Ngemplak Simongan Semarang
TIDAK perlu ruang khusus untuk berkarya dan berkesenian. Bahkan di area perkampungan para 'seniman jalanan' dapat mengekspresikan karya-karyanya dan dinikmati oleh masyarakat sekalipun yang tidak mengerti seni.
Instalasi seni di Festival Arus Bukit Jatiwayang Ngemplak Simongan Semarang
Semalam saya turut menilik karya 23 seniman visual dan 24 seniman pertunjukan di Festival Arus Bukit Jatiwayang di Ngemplak Simongan Semarang. Lokasi itu tidak jauh dari rumah, tidak ada 10 menit dengan motoran sudah sampai ke kampung sebelah yang punya 'gawe' tersebut.
Salah satu rumah warga Srinindito Timur Kampung Jatiwayang yang diberdayakan sebagai ruang seni bagi anak-anak untuk menggambar
Penjor, lampu-lampu, dan instalasi yang 'nyeni banget' sudah menyambut sejak memasuki area acara dari Pasar Beka Simongan. Hingga sampai ke Jalan Srinindito Timur, suasana kampung dengan medan berbukit itu makin meriah terbungkus seni yang ingin dipahami.
Pengunjung sedang melihat karya mural di Festival Arus Bukit Jatiwayang
Melewati gang-gang menanjak, tampak tembok-tembok rumah warga tergambar mural dengan berbagai cerita.
Saya masuk di teras rumah warga yang tampak ramai. Anak-anak sedang bergantian mewarnai gambar dengan spidol aneka warna pada kertas putih bertulis Jatiwayang. Mendengar percakapan mereka beradu argumen dalam memilih warna dan ada juga protes kenapa gambarnya tak terpajang di tembok pamer.
Misi Festival Arus Bukit Jatiwayang
Tak selesai disana, sebelum menuju ke panggung puncak acara yang berhias lentera damar kurung, lagi-lagi ada ruang persinggahan yang memajang puisi-puisi tentang bumi.
Panggung pertunjukkan dalam Festival Arus Bukit Jatiwayang
Perhelatan yang diinisiasi Kolektif Hysteria bersama warga Kampung Jatiwayang Ngemplak Simongan Semarang itu berlangsung, 24-25 Agustus 2019. Namun, kegiatan yang didukung oleh Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan Kemendikbud itu sebenarnya sudah berjalan sejak 3 Agustus 2019.
Puisi Bumi di Festival Arus Bukit Jatiwayang
Dari waktu itu para seniman sudah melakukan residensi di kampung Jatiwayang. Menyiapkan ekhibisi, menghias kampung ala para penggiat seni visual jalanan dan seni urban yang kerap berkreasi dan berekspresi melakukan praktek kesenian di ruang publik atau di sudut-sudut kota.
Kampung Halaman Jatiwayang adalah permukiman yang berada di wilayah perbukitan di Semarang
Festival Arus Bukit ini memang sengaja digelar untuk mengenalkan Kampung Jatiwayang sebagai salah satu kawasan perbukitan di Kota Semarang. Sebab, Semarang sendiri memang sebenarnya memiliki karakter sebagai kota bukit.
Diketahui, selama ini jarang sekali topografi ini dianggap sebagai penanda kota atau branding. Sehingga, melalui kegiatan ini Jatiwayang bisa berdaya kembali sekaligus sebagai tempat aktivitas kesenian.
Inisiator Festival Arus Bukit Jatiwayang, Adin mengatakan, alasannya memilih Jatiwayang dalam festival tersebut karena kampung itu merupakan bagian dari jaringan yang bekerja sama dengan Hysteria. Selain itu, baru kali ini pihaknya menggelar kegiatan di kawasan bukit.
''Sebelumnya, kami menggelar di Kemijen sebagai kawasan pesisir, Bustaman sebagai daerah Kampung Kota, Nongko Sawit sebagai kawasan pegunungan. Sedangkan, perbukitan belum pernah. Kami berharap ke depan Jatiwayang bisa menjadi pintu masuk untuk mengaktivasi kawasan bukit di Semarang, apalagi di Semarang adalah kota bukit. Sehingga, kami pengen mengingatkan ke masyarakat eh bukit ada lho dimana disana juga ada manusia dan budaya yang bisa kita berdayakan,'' tuturnya yang juga Direktur Kolektif Hysteria.
Bersukaria Walking Tour, operator tur jalan kaki yang membawa para milenial menjadi penjelajah waktu dan belajar sejarah / foto : Anggun Puspita
DULU satu hal yang dapat dilakukan untuk menembus masa lampau adalah
dengan mendengarkan dongeng. Nenek sering melakukan itu pada saya. Tepatnya
sebelum tidur siang atau malam sebagai ritual wajib yang tak pernah
terlewatkan. Melalui dongeng Nenek, imajinasi saya melambung tinggi memasuki
ruang dan waktu pada masa lalu. Cerita rakyat atau sejarah nusantara tertanam
di pikiran ketika secara lisan Nenek mendongeng untuk saya, dan pesan moral
juga dibisikkan ke telinga saya agar dapat diterapkan di kehidupan nyata.
Setelah puluhan tahun
berlalu dan waktu membawa generasi seusia saya ke era milenial seperti sekarang, ada cara menarik untuk kembali ke tempo dulu, yakni menjadi ‘penjelajah
waktu’ dalam wisata atau tur jalan kaki. Pengalaman ini menjadi konsep dan daya tarik baru
di dunia wisata untuk mencari hiburan, berolahraga, belajar sejarah, mengenal kearifan lokal dan tradisi masyarakat setempat, hingga berswafoto di tempat yang menarik untuk diunggah di media sosial.
Cepat Sekejap Melalui Gawai
Saya beberapa kali
turut dalam aktivitas tur jalan kaki yang dioperasionalkan Bersukaria Walking
Tour di Kota Semarang. Sabtu sore atau Minggu pagi adalah jadwal bagi kami peserta
tur jalan kaki yang mayoritas generasi milenial berubah menjadi penjelajah waktu. Namun, kami tidak membawa peta atau memasuki mesin waktu, tapi cukup mengenakan pakaian dan alas kaki yang nyaman, kamera dikalungkan atau membawa ponsel cerdas di tangan. Untuk bergabung dalam tur tersebut caranya sangat mudah,
apalagi bagi generasi Y tersebut. Mulai mendaftar, bertemu di titik kumpul,
hingga memberikan survei/timbal balik kepada Bersukaria setelah tur dapat
diselesaikan dengan cepat sekejap melalui gawai.
Ingin mendaftar jadi peserta tur jalan kaki? semua bisa diakses melalui gawai / foto : Anggun Puspita
Pertama, kalian bisa
mengakses Bersukaria melalui media sosial Instagram dengan mencari akun
@bersukariawalkatau mengetik tagar #walkingtoursemarang seperti yang saya
lakukan dua tahun lalu saat pertama kali ikut tur jalan kaki ini. Setelah itu,
pada bagian profil Instagram Bersukaria cari tautan bit.ly/bersukariawalk. Dari tautan tersebut kalian akan diarahkan ke website, lalu
usap layar gawai ke atas hingga ketemu kanal 'Join Regular Tour' kemudian klik untuk
tahap berikutnya. Setelah itu silakan kalian memilih rute yang sudah mereka
jadwalkan. Ada 14 rute yang mereka miliki, namun dalam sebulan biasanya mereka
menawarkan 10 rute yang bisa kalian pilih dan ikuti. Sebut saja di antaranya,
rute Bodjong, Candi Baru, Pecinan, Jatingaleh, Kampung Kota, Kampung Kali,
Kauman, Mataram, Multikultural, Kota Lama, Simpang Lima, Raja Gula, dan
Spoorweg. Adapun pada rute-rute yang dibuat itu, sambil bercerita Bersukaria
akan mengajak kita jalan-jalan dengan jalan kaki menelusuri tempat atau lokasi yang memiliki sejarah, budaya,
tradisi dan melongok kehidupan warga lokal di Kota Semarang.
Kedua setelah memilih
rute, calon peserta diminta mengisi nama, nomor telepon, alamat email, asal
kota/negara, akun media sosial, dan menjawab alasan mengapa ingin ikut tur
jalan kaki. Jika proses tersebut sudah selesai, kita tinggal menunggu jadwal
tur tiba dan H-1 kita akan dikonfirmasi melalui aplikasi percakapan Whatsapp untuk kepastian keikutsertaan
dalam tur jalan kaki itu.
Dalam perjalanan di
setiap rute, kami selalu ditemani sekaligus dipandu oleh seorang pencerita yang
disebut storyteller. Minggu lalu saat
mengikuti rute Radja Goela, storyteller
yang memandu kami adalah Nadin Himaya. Perempuan berhijab dan berkacamata yang
sudah pernah saya temui saat tur jalan kaki rute Suka Jajan itu mengkonfirmasi
kehadiran kami malam sebelumnya melalui Whatsapp.
"Halo selamat malam, Saya Nadin dari
Bersukaria, Storyteller kamu besok pagi pada walking tour rute Radja Goela.
Besok kita bakal ketemu di Taman Indonesia
Kaya (ex taman KB) berkumpul di bawah tulisan Taman Indonesia Kaya di bagian
teater, pukul 08.00 WIB. Harap datang di jam yang tertera agar kita dapat mulai
tepat waktu ya kak.
Untuk yang membawa kendaraan pribadi bisa
dikondisikan parkir di area parkir sekitar Tri Lomba Juang atau Jl Menteri
Supeno.
Untuk yang menggunakan BRT dapat berhenti di
Halte Pandanaran dan berjalan sedikit ke arah titik kumpul.
Disarankan membawa banyak persediaan minum dan
outfit yang nyaman. Bawa topi, payung atau jas ujan juga boleh. Jangan lupa
bawa perlengkapan dokumentasi demi kemaslahatan pribadi. Karena besok kita
bakal hepi hepi. Jadi ga perlu bawa kenangan pahitmu abis ditinggal dia pas
lagi sayang sayangnya. Nda quaddd akutuh uwuwu
Mohon balas pesan ini dengan emot 😎 untuk
mengonfirmasi kedatanganmu besok yaa! Sampai ketemu besok, kak!"
Taman Indonesia Kaya Jl Menteri Supeno Semarang jadi tempat titik kumpul rute Radja Goela / foto : Anggun Puspita
Pesan yang hangat, akrab
dan kekinian itu menjadi ciri khas Bersukaria dalam melayani para peserta tur. Esoknya
di Taman Indonesia Kaya tampak ramai juga padat, maklum hari Minggu dan
bersamaan dengan car free day. Banyak
warga Semarang yang beraktivitas di sana, sekadar jalan-jalan, jajan, atau
olahraga ringan. Saya sampai di lokasi pukul 07.45 dengan transportasi taksi
online. Turun di depan SMA 1 Semarang, kemudian saya menyeberang ke taman dan
mencari dimana rombongan Bersukaria berkumpul. Patokan saya adalah kipas
bergambar logo Bersukaria yang selalu diangkat keatas sebagai pemberitahuan
keberadaan rombongan di titik kumpul. Sudah ada beberapa orang yang datang
duduk berkumpul di tangga taman. Saya kemudian menemui dan menyapa Nadin.
Menelusuri Jejak Si Radja Goela
Oei Tiong Ham (1866-1924), Si Radja Goela dari Semarang / foto : Anggun Puspita
Akhirnya setelah semua
berkumpul tur jalan kaki dimulai, storyteller
beratribut kaos seragam Bersukaria, sambil menggunakan pengeras suara membuka
perjalanan dengan menunjukkan buku berisi foto/gambar masa lalu yang dilaminasi.
Foto seorang lelaki berwajah oriental memakai jas hitam bergaya Eropa
ditunjukkan ke peserta.
"Rute kita hari
ini adalah Radja Goela. Adakah yang sudah tahu siapa gerangan? Kenapa harus ada
rute ini di Bersukaria Walking Tour?’’ tanya Nadin.
Kepada rombongan tur
Nadin mengenalkan siapa Si Radja Goela yang dimaksud. Ya, dia adalah Oei Tiong
Ham (1866-1924), orang terkaya Se-Asia Tenggara yang namanya tersohor di empat
benua yaitu Asia, Australia, Eropa dan Amerika pada tahun 1800-an. Dia anak
seorang pelarian pelaku pemberontakan Taiping, Oei Tjie Sien.
‘’Oei Tiong Ham lahir
sebagai anak orang kaya. Ya, namanya orang kaya mau apa pasti ada. Namun, tidak
sekadar kaya dan puas menjadi anak orang kaya, Oei Tiong Ham yang pandai, tekun
dan memiliki pengetahuan luas ini membangun bisnis di Kota Semarang, sehingga tidak
heran dari bisnisnya dia memiliki banyak aset,’’ tuturnya.
Kantor Gubernuran Provinsi Jawa Tengah yang dulu adalah halaman belakang Istana Oei Tiong Ham / foto : Anggun Puspita
Dari Taman Indonesia
Kaya kami berjalan menuju Jalan Pahlawan dimana di sana berderet gedung pemerintahan
mulai Gedung Berlian DPRD Jawa Tengah, Kantor Gubernuran Provinsi Jawa Tengah,
hingga Gedung Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Berhenti disana, storyteller kembali bercerita tentang
Oei Tiong Ham. Ternyata, tempat yang kami telusuri dan singgahi itu merupakan
bagian istana dari Si Radja Goela.
Gambaran Istana Oei Tiong Ham dan Kantor Polda Jateng yang dulu adalah kebun binatang pribadi Si Radja Goela / foto : Anggun Puspita
‘’Jalan Pahlawan ini
pada zaman Belanda dulunya bernama Oei Tiong Ham Weg. Sebab, area ini banyak
terdapat aset tanah milik Crazy Rich
Asian tersebut. Sebut saja, Gedung DPRD Jateng dan Kantor Gubernuran ini
dulunya halaman belakang istana Oei Tiong Ham, kampus Universitas Diponegoro di
Jalan Imam Bardjo juga dulu asetnya,’’ jelas Nadin.
Nah, Kantor Polda
Jateng ternyata dulunya juga bagian dari istana, yakni kebun binatang pribadi
sang taipan dari Tiongkok itu. Bahkan dari cerita storyteller, dia memiliki hewan kesayangan seekor kanguru. Lalu,
kalau biasanya bangun pagi karena ayam berkokok, sang konglomerat ini bangun
tidur karena auman harimau.
Gambaran Oei Tiong Ham Weg yang kini menjadi Jalan Pahlawan Semarang / foto : Anggun Puspita
Dalam perjalanan
menelusuri jejak Si Radja Goela, dari Jalan Pahlawan menyambung ke Jalan
Veteran lalu ke Jalan Kyai Saleh, kami juga mendengar cerita-cerita lain di
kawasan yang kami lewati. Salah satunya cerita tentang Hotel Siranda yang dulu
merupakan hotel terlaris di Semarang, tapi kini mangkrak dan lebih terkenal
dengan cerita misterinya. Kemudian, kami juga mampir ke Rumah Abraham
Fletterman, pegawai Oei Tiong Ham pada masa itu di Jalan Kyai Saleh No 15 dan kini rumah itu telah diurus oleh Yayasan Mardi
Waluyo. Hingga akhirnya kami singgah di Kantor OJK Regional 3 Jawa Tengah yang
dulu merupakan istana tempat tinggal Oei Tiong Ham.
Muka depan Istana Oei Tiong Ham yang juga dikenal sebagai Istana Balekambang, kini menjadi Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 3 Jateng-DIY di Jalan Kyai Saleh Semarang / foto : Anggun Puspita
Sambil duduk dan
istirahat di serambi bangunan yang juga terkenal dengan sebutan Istana
Balekambang, Istana Gergaji, Kebon Rojo, Balai Prajurit atau Bernic Castle itu,
kami dibawa ke masa awal abad 20. Nadin menuturkan lebih banyak cerita dibandingkan
saat kami berjalan menyusuri median-median jalan. Kisah sang taipan mengalir dan
terus membuat saya geleng-geleng kepala karena takjub. Tidak sekadar cerita tentang
kerajaan bisnisnya yang fokus pada ekspor gula pasir dan pemegang hak monopoli
perdagangan candu (opium) dari pemerintah Belanda, namun kami juga mendengarkan
kisah cinta ‘Pria 200 Juta Gulden’ itu. Dari yang diketahui memiliki 8 istri
dan 42 anak, hingga kisah cinta sejati Oei Tiong Ham dengan seorang janda dari Raja
Madura bernama Kasinem. Perjalanan menembus ruang dan waktu masih berlanjut
dalam tur jalan kaki yang menempuh jarak 4 kilometer dan selama kurang lebih 3
jam itu. Sampai kami kembali lagi ke Taman Indonesia Kaya.
Istirahat, duduk-duduk di serambi istana sambil mendengarkan cerita tentang Crazy Rich Asian, Oei Tiong Ham / foto : Anggun Puspita
Kemasan Menarik Tarik Wisatawan
Ratih (25), salah satu
peserta yang beberapa kali saya temui dalam tur jalan kaki di lain rute
mengungkapkan, dirinya tidak menyangka jika tempat atau jalan yang kerap
dilewati hari-hari ternyata menyimpan banyak kisah.
‘’Padahal, setiap hari
juga lewat jalan ini kok nggak ngeh
ya kalau tempat ini peninggalan orang terkaya di Semarang pada zamannya,’’
tutur warga Sampangan Semarang itu.
Sedangkan, Asti (28)
mengaku, gemar mengikuti tur jalan kaki karena ingin kenal lebih dekat tentang
peradaban dan kisah masa lampau Kota Semarang. Selain itu, juga ingin berburu foto di spot menarik saat perjalanan untuk mengisi halaman Instagram. ‘’Ikut tur jalan kaki ini lebih
banyak kejutannya. Baik cerita ataupun spot unik buat foto, kayak rute Radja Goela ini, kapan lagi bisa foto di istana Oei Tiong Ham,’’ ungkapnya.
Wisata dengan konsep jalan-jalan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 3 – 7 kilometer menelusuri rute yang
ditawarkan Bersukaria ini menjadi rangkaian aktivitas belajar sejarah yang
menyenangkan untuk segala usia mulai anak hingga orang tua, terutama kalangan milenial usia 20-35 tahun. Peminatnya terus bertambah sejak digelar September 2016 hingga sekarang.
‘’Alhamdulillah, pertumbuhan peserta dalam kurun waktu tiga tahun ini sangat positif, bahkan melonjak
drastis. Peningkatannya bisa mencapai 400 persen, dari 561 orang di tahun 2017 menjadi 2.365 orang di tahun 2018, dengan
total walking tour sebanyak 57 tur pada tahun 2017 menjadi 208
tur pada tahun 2018,’’ kata pendiri Bersukaria, Fauzan Kautsar.
Tercatat sudah ada 14 negara selain Indonesia yang berpartisipasi mengikuti
rangkaian tur bersama Bersukaria, yaitu Malaysia, Filipina, Jepang, Korea
Selatan, Sri Lanka, Belanda, Jerman, Norwegia, Rwanda, Swedia, Inggris,
Suriname, Amerika Serikat, dan Australia. Mereka mengikuti baik regular walking tour ataupun private walking tour. Fauzan menuturkan, tur jalan kaki Bersukaria kini menjadi alternatif kegiatan wisata dan hiburan baru yang diminati warga lokal dan wisatawan yang berkunjung ke Kota Semarang. ''Kalau dibilang ini konsep wisata baru memang iya, karena kami menggabungkan wisata jalan-jalan yang selalu dianggap menyenangkan dan aktivitas jalan kaki yang konotasinya selalu bikin capek dan panas. Namun, sebenarnya melalui wisata ini kami ingin orang kita (dalam negeri) atau luar negeri makin
dekat dengan budaya Indonesia,’’ jelasnya.
Suvenir stiker dari Bersukaria yang dibagikan seusai tur jalan kaki / foto : Anggun Puspita
Selama mengikuti tur
jalan kaki yang dibuat Bersukaria ini saya selalu mendapatkan pengalaman
berbeda pada setiap rute. Ada tujuh rute yang sudah pernah saya ikuti di
antaranya Kauman, Kota Lama, Pecinan, Kampung Kota, Simpang Lima, Suka Jajan,
dan Radja Goela. Tiap kali tur soal biaya tidak menjadi beban, sekalipun itu
tanggal tua. Sebab, tur jalan kaki ini mengenakan sistem pay as you
want alias bayar suka-suka. Kegiatan ini tentu makin menarik karena
dikemas dengan segala rupa yang membuat orang penasaran untuk menjajalnya. Satu
cara yang membuat ketagihan dari tur ini adalah pemberian stiker bergambar landmark rute yang diikuti di akhir
perjalanan setelah kami mengisi survei sebagai feed back ke Bersukaria.
Tentunya, konsep wisata
dengan berjalan kaki ini tidak hanya menarik bagi yang pernah menjajal dimana mereka bisa dekat dengan warga lokal dan turut menjaga peninggalan sejarah atau alam, tapi
juga membawa keuntungan bagi pemerintah daerah dan stakeholder di bidang
pariwisata. Sebab, antusias peserta khususnya dari luar kota atau luar negeri
akan menyumbang pertumbuhan kunjungan wisatawan bagi Kota Semarang. Selain itu, wisata jalan kaki ini dapat membantu dalam pengembangan destinasi wisata itu sendiri.
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Semarang mencatat jumlah kunjungan wisatawan sampai dengan
triwulan kedua tahun 2019 ini sudah mencapai 3,7 juta wisatawan dari target
kunjungan 5,7 juta.
‘’Awal tahun 2019 kami
menargetkan jumlah kunjungan wisatawan bisa mencapai 5,7 juta wisatawan baik
domestik ataupun mancanegara. Namun, baru triwulan kedua atau semester satu
sudah mencapai 3,7 juta wisatawan. Maka, dari realisasi ini kami tingkatkan
targetnya menjadi 7,2 juta wisatawan hingga akhir tahun,’’ tutur Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Indriyasari saat ditemui acara Semarang
Night Carnival 2019 beberapa waktu lalu.
Peningkatan jumlah
kunjungan wisatawan tersebut karena Kota Semarang terus berbenah, khususnya
dalam bidang pariwisata. Seperti membenahi objek/destinasi wisata yang ada,
lalu menyelenggarakan berbagai event yang menarik wisatawan untuk datang ke
Kota ATLAS ini. Selain itu untuk menarik wisatawan milenial, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata berupaya menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan segmen tersebut.
‘’Apalagi sekarang
memasuki revolusi industry 4.0, maka kita harus menyesuaikan dengan kondisi
itu. Untuk wisata, kami garap mulai pengemasan konsep, pelayanan, hingga
pemasaran/promosi. Tentunya, kami juga manfaatkan media digital untuk menyambut kunjungan disamping media
yang sudah ada sebelumnya,’’ katanya.
Daging Sapi dan Bebek yang siap dipanggang di Restoran Namuhyanggi
MENJELAJAH rasa, memanjakan lidah dan perut di Korea Selatan bukanlah perkara susah. Beragam kuliner terhidang dari lapak kaki lima hingga restoran mewah. Masakan otentik sampai perpaduan pun sangat mudah dijumpai dimana-mana.
Namun, tidak sekadar perut kenyang dan lidah bergoyang untuk menikmati suguhan yang kadang juga membuat lapar mata. Style, gaya hidup atau kebiasaan masyarakat Korea dalam menyantap makanan sangat menarik untuk dipelajari. Khususnya, tentang bagaimana restoran atau rumah makan di Korea menyajikan menu makanan kepada tamu.
Restoran Namuhyanggi tampak depan
Dari Namuhyanggi (나무향기), restoran di kawasan Gwanghwamun Square Seoul Korea Selatan saya mendapat pengalaman baru, bersantap ala warga Korea. Dalam suasana malam musim dingin, Kim Hyun Hak, warga Seoul kenalan saya mengajak ke restoran yang beralamat di 47, Sejong-daero 23-gil, Jongno-gu itu untuk menemui dan menerima jamuan dari pemilik Namuhyanggi, Yoon Kyung Hoon.
Kami segera memasuki sebuah gedung, tempat restoran itu berada setelah turun dari taksi. Langkah kami bergegas untuk menghindar dari terpaan angin musim dingin dengan suhu -6° Celcius pada malam itu. Dari luar gedung memang tidak tampak ramai, tidak ada deretan mobil yang parkir disana, namun setelah kami masuk, suasana berbeda terlihat. Hampir tidak ada meja dan kursi yang kosong untuk kami tempati, semua terisi oleh tamu yang mayoritas berkewarganegaraan Korea. Hingga akhirnya Mr Kim (begitu saya memanggil Kim Hyun Hak) mendatangi resepsionis dan menyampaikan bahwa kami dapat undangan dari Mr Yoon.
Suasana di dalam restoran
Kami diantar oleh pramusaji ke meja untuk kapasitas empat orang yang berada di pojok belakang berbatasan dengan ruang VIP yang saat itu full house oleh tamu yang sedang merayakan pesta ulang tahun. Meskipun ramai, kenyamanan tamu saat bersantap disana sangat terjaga, karena setiap meja walau bukan ruang VIP, ada pembatasnya untuk menjaga privasi.
Mr Yoon pun akhirnya datang menyapa kami, "Annyeonghaseyo, selamat datang di Korea. Sudah berapa hari disini," tuturnya menggunakan bahasa Indonesia dengan terbata.
Sedikit cerita, Mr Kim dan Mr Yoon adalah sahabat yang sama-sama pernah tinggal dan bekerja di Indonesia. Mr Kim pernah bekerja di perusahaan mebel di Kalimantan sekitar tahun 1978 dan Mr Yoon pernah bekerja sebagai koki di rumah makan Korea pertama dan tertua di Semarang, Seoul Palace Korean Restaurant. Saya mengenal mereka dari Bu Benita, pemilik rumah makan tersebut. Adapun, Seoul Palace adalah tempat favorit saya menyantap kuliner Negeri Ginseng, karena disana memiliki rasa yang otentik. Mr Kim sangat lancar berbahasa Indonesia, sedangkan Mr Yoon sedikit bisa. Namun, hal tersebut tidak menghalangi kami untuk berkomunikasi malam itu.
Mr Kim Hyun Hak dan Mr Yoon Kyung Hoon
"Mau makan apa? Suka Korean BBQ? Saya pesankan daging sapi dan bebek ya?" tanya Mr Yoon.
Tanpa menunggu lama pramusaji menyiapkan pesanan kami. Secara bergantian pramusaji melayani, mulai mengeluarkan sejumlah banchan (makanan pendamping/pembuka ala Korea) dan minuman, kemudian seorang pelayan laki-laki datang membawa sebuah wadah berisi potongan kayu yang sudah menjadi bara untuk ditata di panggangan yang menyatu dengan meja kami.
Setelah itu menu utama datang, sepiring besar berisi potongan daging sapi dan bebek yang tampak setengah matang, karena terlihat dari warna daging yang kecoklatan di luar tapi masih merah di bagian dalam. Mr Yoon memindahkan daging-daging itu dari piring ke panggangan. Tak perlu menunggu lama, daging yang matang pun dipindahkan ke piring saya. Sebuah kehormatan bagi saya, mendapat perlakuan seperti itu. Sebab, dari pengetahuan yang saya tahu tentang etika makan ala Korea, orang yang lebih muda tidak boleh mendahului makan sebelum orang yang lebih tua menyantap makanan mereka. Oleh mereka berdua, saya diajari cara menyantap daging panggang itu agar lebih nikmat.
"Untuk daging sapi, cara makannya dicocol dengan garam ini. Namun, rasakan dulu dagingnya sebelum ditambahkan apapun. Kalau daging bebek, celupkan dengan saus manis berwarna coklat kemerahan ini, kemudian dibungkus dengan kimchi dari sawi putih," tutur Mr Yoon.
Daging yang sudah dipanggang dapat disantap dengan banchan kimchi atau salad sayur
Saya menemukan sensasi berbeda saat menyantap daging dan bebek panggang di restoran Namuhyanggi. Jika biasanya daging untuk Korean BBQ disajikan dalam bentuk mentah yang sudah dibumbui, untuk kemudian dipanggang di plat besi yang panas dan kita bisa menentukan tingkat kematangan sesuai selera kita. Di restoran tersebut berbeda, saya bertanya pada Mr Yoon bagaimana memproses daging dan kenapa ada sensasi rasa seperti diasap tapi sedap saat daging panggang itu menyentuh indera perasa ini?
Kimchi Sawi Putih tanpa campuran pasta atau bubuk cabai untuk membungkus daging bebek
Lelaki yang sudah puluhan tahun menggeluti bidang kuliner itu tersenyum, lalu menjelaskan. "Itulah, mengapa saya memberi nama restoran ini Namuhyanggi yang artinya, pohon yang wangi. Sebelum daging disajikan untuk dipanggang oleh tamu, ada proses pengasapan di dalam tungku berbentuk cerobong dan menggunakan kayu pohon oak. Bara dari kayu oak membuat pengasapan sempurna dan menghasilkan bau yang harum nan sedap pada daging," jelasnya.
Tungku pengasapan daging
Selain itu, lanjut dia, garam yang digunakan untuk mencocol daging panggang pun tidak sembarang garam. "Saya langsung ke petani, memilih sendiri dan membeli garam dengan kualitas terbaik. Kemudian, garam saya simpan selama tiga tahun untuk mendapatkan hasil yang pas sebagai pelengkap hidangan disini. Jadi, ketika daging panggang bertemu dengan garam di mulut akan menghasilkan rasa yang manis, bukan asin," imbuhnya.
Mengelola restoran Korea pun tidak semudah yang dibayangkan. Seorang pengusaha kuliner dan koki juga harus memperhatikan banyak hal, termasuk kebiasaan masyarakat, khususnya Korea dalam menikmati makanan.
Mr Yoon menyapa pelanggan yang datang
"Rumah makan bergaya Korea, tidak akan menjual banyak menu. Terlalu banyak menu, tamu atau pelanggan akan bingung mau makan apa. Cukup spesialisasi satu hingga tiga menu, sehingga ketika tamu datang ke restoran atau rumah makan sudah langsung bisa menentukan mau makan apa," kata Mr Yoon.
Sup Bebek Pedas, salah satu menu lain yang bisa dipesan di Namuhyanggi
Maka tak heran, ketika saya membaca buku menu Namuhyanggi, hanya ada empat halaman yang berisi menu makanan dan minuman. Spesialisasi makanan disana adalah Korean BBQ yang dengan harga mulai 15.000 Won - 52.000 Won. Sebagai pelengkap ada beberapa menu sup seperti Sup Bebek, Doenjang Jjigae, Bibim Namyeon.
Daging yang sedang dipanggang, rasanya MANTULLL!!!
Beberapa jam di Namuhyanggi, saya tidak hanya merasakan tubuh saya menjadi hangat setelah menyantap daging panggang meski cuaca dingin, tapi juga sambutan yang hangat dari Mr Yoon dan Mr Kim pada malam terakhir saya di Seoul. Cerita mereka tak bisa terbeli dengan materi, tapi membuat saya semakin kaya karena mendapat pengetahuan, pengalaman, dan saudara baru di Korea. 감사함니다 Mr Yoon dan Mr Kim, 또 뵙겠습니다~
NAMUHYANGGI KOREA RESTAURANT
Alamat : 47, Sejong-daero 23-gil, Jongno-gu, Seoul, Korea Selatan
NGOMONGIN soal makanan memang tidak ada habisnya.
Apalagi, bagi saya pribadi yang susah membedakan antara doyan atau lapar saat
melihat makanan.#ConfessionOfFoodLover
Ngobrolin soal makanan lagi nih, di Korea
Selatan yang saat ini tengah memasuki musim semi ternyata juga memiliki
menu-menu kuliner favorit. Adapun, santapan yang dikonsumsi orang Korea
merupakan menu makanan yang dapat menjaga stamina kesehatan sepanjang tahun.
Sejumlah hidangan pun dicari oleh masyarakat Negeri Kimchi untuk disantap
sambil menikmati suasana bunga-bunga bermekaran. Apa saja kuliner favorit
masyarakat Korea saat musim semi?
Jukkumi
Jukkumi
Jika
Sannakji adalah sajian bayi gurita mentah, Jukkumi (Ocellatus) adalah
sajian bayi gurita yang dimasak dalam berbagai menu. Sesuai ukuran, Jukkumi
lebih kecil dibandingkan gurita pada umumnya, yakni berukuran 10-20 cm. Nah,
mengapa hidangan dengan bahan dasar bayi gurita ini dicari oleh masyarakat
Korea saat musim berbunga seperti sekarang? Karena pada saat musim semi,
Jukkumi berkembang dengan maksimal dan menghasilkan rasa terbaiknya dimana
bagian kepalanya penuh dengan telur. Telur-telur itu lah yang menjadikan
Jukkumi sangat nikmat. Bentuk telur tersebut memiliki ukuran dan warna yang
hampir sama dengan nasi, namun memiliki rasa yang lebih gurih dan lezat.
Agar semakin nikmat Jukkumi dapat diolah menjadi
berbagai macam hidangan, seperti;
Jukkumi Samgyeopsal Bokkeum / credit : flickr.com
Jukkumi Samgyeopsal Bokkeum, hidangan ini mencampurkan bayi gurita dengan perut babi panggang
(samgyeopsal). Lalu, bahan dasar itu disajikan dengan
kue beras atau tteokpokki dan disiram kuah pedas. Menu makanan ini sih jelas
tidak disarankan bagi muslim yang ingin menikmati Jukkumi karena mengandung
babi.
Jukkumi Shabu-shabu / credit : dailymoslem
Akan tetapi, menu Jukkumi Shabu-shabu bisa menjadi pilihan lain
bagi yang mencari menu halal. Untuk menikmati hidangan ini, cukup dengan cara
mencelupkan bayi gurita ke dalam cuka atau saus cabai merah. Ada pula yang
mengolah Jukkumi dengan cara dibakar, atau dihidangkan dengan kuah dalam air
kaldu sayuran agar teksturnya lebih lembut. Kaldunya sangat gurih dan tidak
terlalu pedas. Jadi masih bisa dicicipi bagi yang tidak suka dengan makanan
pedas. Jukkumi shabu-shabu juga bisa di tambahkan mie sebagai pelengkapnya.
Dari hidangan ini, masyarakat Korea meyakini
bahwa Jukkumi dapat menghilangkan rasa lelah pada tubuh. Jukkumi juga kaya akan
kandungan lemak jenuh seperti DHA yang dapat menurunkan kadar kolestrol, jadi
hidangan ini juga baik dikonsumsi bagi anda yang sedang menjalani program diet.
Datangnya musim semi memang tidak
hanya ditandai dengan tanaman yang tumbuh maksimal. Akan tetapi, melimpahnya
hasil laut. Sehingga, sangat tepat untuk menikmati sajian makanan laut, salah
satunya Kepiting.
Daege merupakan Kepiting
Raja yang diolah menjadi Daege-jjim. Kebanyakan kepiting raja yang
ukurannya besar-besar ini ditangkap di lepas pantai timur di Korea. Adapun,
dinamakan kepiting raja, karena dulu makanan yang sangat lezat ini disajikan
secara khusus kepada raja selama perjamuan kerajaan.
Daege
adalah kuliner kebanggaan dari Gyeongsangbuk-do. Khususnya di Yeongdeok yang
terkenal sebagai Kota Kepiting. Daege terkenal sebagai salah satu jamuan di
kerajaan yang sangat lezat. Selain itu Daege memiliki kandungan protein dan
kalsium yang tinggi, sehingga sangat baik untuk masa pertumbuhan anak.
Banyak juga yang meyakini bahwa telur kepiting
tinggi akan asam nukleis yang bermanfaat sebagai makanan untuk mencegah penuaan
dini dan bagus untuk kulit. Orang korea biasa mengolahnya dengan mengisi olahan
daging kepiting yang disebut “crab butter” ke dalam cangkangnya, lalu di tim
hingga lunak.
Pada festival itu, pengunjung tak hanya bisa menikmati dan
membeli kepiting raja yang masih segar, tetapi juga ada penampilan musik dan
acara kebudayaan lainnya.
Hadon
Hadon
Ikan buntal atau blowfish dalam bahasa Korea
disebut Hadon, sedangkan bahasa Jepang disebut Fugu.
Hidangan Ikan Buntal ini biasanya diolah menjadi sup yang dimasak dengan
dropwort (Oenanthe Javanica), sejenis tanaman yang banyak tumbuh saat musim
semi. Lalu, dibumbui dengan saus minyak dan kedelai, rasanya sangat baik ketika
disiapkan sebelum bunga persik layu. Namun, memang dibutuhkan kemampuan khusus
dalam mengolah Ikan Buntal. Sebab, bahan dasar tersebut jika salah memasak bisa
menjadi racun bagi manusia, jika tidak tahu cara memasaknya.
Tangpyeong-Chae
Tapyeong-chae
Tapyeong-chae biasa dinikmati di akhir musim semi. Hidangan ini merupakan
masakan istana yang dibuat dari agar-agar yang terbuat dari kacang hijau dan
bermacam-macam bahan yang lain. Masakan ini merupakan sejenis salad dan lebih
sering dihidangkan dalam jamuan makan pada saat istimewa. Terutama, masakan ini
lebih terkenal dengan cerita asal usul namanya. Nama Tangpyeongchae itu berasal
dari sebuah kebijakan kerajaan Joseon yang bernama Tangpyengchaek.
Bahan-bahan Tangpyeongchae yang beraneka warna
itu melambangkan masing-masing kelompok politik, yaitu rumput laut Gim berwarna
hitam melambangkan kelompok dari daerah Utara, sayur hijau melambangkan
kelompok dari timur, agar-agar berwarna putih melambangkan kelompok dari barat,
dan daging sapi berwarna merah melambangkan kelompok dari selatan.
Umumnya hidangan tersebut terdiri dari, jelly
bean green, daging babi, dropwort (Oenanthe Javanica), dan laver kering yang
dibumbui dengan kecap dan cuka. Dengan menikmati Tangpyeong konon dapat menjaga
keseimbangan seseorang.
Hwajeon
Hwajeon / credit : soompi
Hwajeon adalah
sejenis kue beras yang biasa dijadikan hidangan penutup atau makanan ringan.
Hidangan ini cukup unik karena taburan bunga musim semi di atasnya. Biasanya
hwajeon memang diberi taburan bunga, seperti bunga azalea, bunga mawar, krisan,
sakura, atau bunga pir. Hwajeon selalu muncul saat festival musim semi di Korea
dan biasa dimakan pada saat hwajeon nori, sebuah tradisi yang sudah turun
temurun sejak masa Dinasti Goryeo.
Tradisi menyantap hwajeon disebut “Kkeot Darim”,
yang berlangsung saat hari “Samjinal” yaitu hari ketiga, bulan ketiga kalender
Lunar. Biasanya para wanita pergi tamasya ke gunung dengan membawa alat memasak
hwajeon. Kemudian mereka memetik bunga-bunga musim semi yang tumbuh di sekitar
dan membuat hwajeon. Setelah itu, mereka menyantap hwajeon bersama-sama sambil
menikmati panorama pegunungan di musim semi.
Jadi bagaimana, apakah kuliner Korea di musim
semi ini membuatmu tergoda untuk mencobanya atau hanya bisa membikin air liurmu
menetes??? masitge deuseyo ^^