Lontong Cap Go Meh Kedai 55 Tertua di Semarang

Oma Louis meracik Lontong Cap Go Meh

Setelah merayakan tahun baru Imlek, 15 hari kemudian umumnya masyarakat Tionghoa menggelar pesta makan-makan dengan menyantap menu wajib Lontong Cap Go Meh.

Perayaan tersebut memang bernama Cap Go Meh yang artinya hari ke 15 atau hari terakhir dari masa perayaan Sincia. Alih-alih ikut merayakan saya pengen juga makan sepiring Lontong Cap Go Meh khas kota kelahiran saya Semarang.
Mencari tempat makan di Kota Semarang itu tidak sulit, sebab semua kulinernya hanya punya dua rasa, yaitu enak dan enak banget menurut subjektif saya. Dan kali ini saya meluncur ke Kedai 55 di Jl Puri Anjasmoro K-6/19 Semarang.
Kedai ini menjual masakan rumahan, dan salah satu menu yang terkenal adalah kuliner peranakan Lontong Cap Go Meh. Sudah beberapa kali saya berkunjung untuk menikmati kuliner tersebut, dan saya tidak pernah kecewa dengan masakan akulturasi Jawa-Tionghoa yang disuguhkan disana.
Selain itu, ada yang saya rindukan setiap kembali ke kedai yang berada di garasi rumah itu, yaitu saat melihat nenek yang meracik Lontong Cap Go Meh untuk pelanggan, baik makan di tempat atau di bawa pulang.
Tangannya dengan luwes mengiris lontong yang dibungkus daun pisang, kemudian mengambil beberapa sayur dari panci yang berjejer, lalu memindahkan ke piring kemudian diantar ke meja pembeli.
Tangannya yang keriput tidak sekadar menandakan banyaknya usia, tetapi juga pengalaman dan ketekunan dalam memelihara usahanya. Dia adalah Louis Mariani, empu dibalik masakan yang terhidang di Kedai 55. Perempuan berusia 82 tahun itu telah merawat resep kuliner keluarga yang diwariskan orang tuanya puluhan tahun lalu.
Sambil menyantap Lontong Cap Go Meh, dan saat warung sudah agak sepi saya pun punya kesempatan mengobrol dengan perempuan sepuh itu yang kemudian saya panggil, Oma Louis.
‘’Oma, sudah berapa lama jualan Lontong Cap Go Meh?’’ tanya saya.
Saat mendengar jawaban Oma Louis, tiba-tiba tanpa sadar saya meletakkan sendok dan menyimak penuturannya. Ternyata, Kedai 55 ini sudah berdiri sejak tahun 1958. Artinya, sudah 58 tahun tempat makan tersebut menyajikan kuliner peranakan tersebut. Bukan waktu yang singkat bagi sebuah rumah makan dapat bertahan selama itu.
Oma menuturkan, orang tuanya Sie Tie Nio dan Kwik Kwat Ring yang memulai usaha tersebut. Dulu rumah makannya berlokasi di Jl Beteng No 55 di kawasan pecinan Semarang.
‘’Setelah berganti-ganti pekerjaan dan usaha, akhirnya mama papa saya menetapkan untuk berjualan Lontong Cap Go Meh. Saya pun turut bantu jualan, kata mama usaha ini bekal biar saya bisa tetap hidup kalau sudah tua nanti. Soalnya, saya sendiri juga tidak sekolah tinggi, hanya sampai kelas 3 SD,’’ tuturnya.
Louis yang merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan pendiri Kedai 55 itu, kini adalah generasi kedua. Dari dulu hingga sekarang dia tidak pernah mengubah resep yang diturunkan mamanya.
Sehingga, masakan yang disajikan juga kurang lebih tetap sama dengan generasi sebelumnya. Setiap hari mulai siang setelah kedai tutup dia sudah menyiapkan masakan untuk dijual esok harinya.
Lontong Cap Go Meh Kedai 55 Semarang
Membutuhkan proses panjang untuk memasak menu-menu yang akan disajikan kepada pelanggan. Bagaimana agar masakan yang mayoritas berbahan santan itu tetap enak disantap dan tidak basi. Dia memasak sejumlah menu, seperti lontong, opor ayam, sambel goreng udang, telur Pindang, lodeh terong dan sate abing.
Ciri khas dari Lontong Cap Go Meh buatan Kedai 55 adalah Sate Abing yang terbuat dari parutan kelapa yang disangrai kemudian dihaluskan hingga keluar minyaknya, lalu dimasak dengan bumbu rahasia. Tak lupa sebelum dibawa ke meja pelanggan, Louis menambahkan bubuk kedelai dan bawang goreng sebagai penyempurna.
Rasa rempah dari masing-masing masakan yang berada diatas piring itu sangat terasa meskipun sudah diaduk. Saya pun masih bisa merasakan rasa jinten bumbu khas dari opor ayam berkuah putih, meskipun sudah tercampur dengan sayur lodeh terong. Bahkan, saya juga bisa mencecap rasa manis kelapa dari sate abing ketika menyuapkan bersamaan dengan Sambel Goreng Udang.
Sebuah perpaduan yang indah dan mengkayakan antara dua tradisi serta budaya Tionghoa-Jawa itu.
Ya, meskipun bisa dibilang Lontong Cap Go Meh Kedai 55 adalah versi sederhana dari kuliner yang sebenarnya memiliki 13 masakan pelengkap , tetapi cita rasa yang tidak pernah berubah sejak generasi pertama membuat pelanggannya setia kembali lagi untuk menikmati kuliner tersebut.
“Banyak pelanggan di Beteng yang dulu kembali lagi kesini. Mereka mencari dan menanyakan warga sekitar dimana kami pindah. Pelanggan kami pun juga turun temurun dulu dari orang tuanya, kini anak cucunya juga makan disini,” katanya yang mengolah kuliner tersebut bersama anak ketiganya, Santi Hadianto.
Selain melanggengkan resep dan usaha warisan itu, ada motivasi dari Louis untuk tetap setiap menjual Lontong Cap Go Meh, yakni mengenalkan masakan akulturasi itu pada generasi muda.
“Ya, biar anak-anak sekarang tetep mau makan masakan dari tradisional. Biar mereka tahu asal-usulnya juga. Maka itu, saya terus masak Lontong Cap Go Meh tidak hanya saat perayaan itu berlangsung, tetapi menyajikannya setiap hari bagi siapapun yang ingin makan,” ujarnya.
Maka itu, meski sudah berusia 58 tahun dan walaupun aneka masakan berbahan dasar santan kelapa, tetapi Lontong Cap Go Meh Kedai 55 Semarang tidak pernah basi sejauh generasi yang melanjutkan bisa merawat dan mempertahankan usaha kuliner tersebut.
Tulisan juga di muat di Blog Manikam

0 comments